Senin, 13 Juni 2011

SUBAK


Keberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumberdaya air yang tersedia.
Selanjutnya, adanya otonomi pada sistem subak, sistem desa pakraman, dan sistem desa dinas, ternyata sangat membantu menghindari konflik, meskipun lahannya saling tumpang tindih. Sebab dengan adanya otonomi, maka masing-masing sistem akan membuat keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain, serta masing-masing diantara mereka mampu mengadakan kordinasi untuk mencegah konflik. Misalnya, kalau ada konflik dalam suatu subak, maka mereka akan berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kalau tidak bisa, maka pada umumnya mereka akan mengadakan kordinasi dengan pimpinan desa pakraman atau desa dinas untuk ikut memecahkan masalahnya, tergantung dari, dengan pihak mana , sistem subak itu bermasalah. Dalam bahasa ilmu politik, kondisi semacam ini disebut sepadan dengan konsep polisentri (McGinnis, l999).
Dalam beberapa kasus yang sempat dicatat, tampaknya petani (subak) berada dalam posisi yang lemah, dalam berhadapan dengan sistem desa pakraman dan sistem desa dinas. Misalnya, kasus yang berkait dengan penyungsungan (pengelolaan) pura subak. Dengan adanya alih fungsi lahan yang kini terjadi dengan sangat cepat, maka banyak areal subak yang semakin menyempit. Akibatnya iuran yang masuk ke kas subak untuk mengayom dan menyungsung pura subak semakin sedikit. Kenyataan ini sangat menggelisahkan subak, karena petani harus menanggung beban yang semakin berat. Karena kemampuan petani yang sangat terbatas, maka banyak pura subak yang tampaknya terlantar dan tidak terpelihara. Arif (l999) menyebutkan bahwa tampaknya ada hubungan yang kuat antara kondisi pura subak dengan baik-buruknya organisasi sistem subak yang bersangkutan.
Perkembangan sistem subak sebagai sistem irigasi yang beada di bawah pengaruh raja-raja, tampaknya menyebabkan sistem irigasi subak harus melakukan aktivitas organisasi yang sepadan sebagai satu lembaga adat. Dengan demikian, dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, agama Hindu yang berkembang di Bali yang memiliki konsep THK yang dijadikan sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah.
Adapun perubahan yang terjadi pada sistem irigasi subak adalah sebagai berikut :
a.      Cakupan pengelolaan sistem subak
Pada awalnya sistem subak hanya mengelola air irigasi untuk kepentingan anggotanya. Namun  dengan adanya kegiatan bersifat ekonomi, maka dalam perkembangannya sistem subak juga mengelola keuangan organisasi. Dalam perkembangannya yakni mulai sekitar tahun 1970-an, unsur dan kegiatan ekonomi cukup banyak muncul dalam sistem subak di Bali, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Misalnya melakukan kegiatan simpan pinjam, membentuk koperasi tani, dan melakukan pinjaman ke bank untuk kegiatan pembangunan jaringan irigasi subak.
Kecendrungan perkembangan sistem subak kini terjadi di Bali adalah adanya kegiatan subak untuk dapat menggali dana bagi pengelolaan sistem irigasinya dan selanjutnya perkembangan subak yang  diharapkan juga  menjadi lembaga ekonomi (Sutawan, 2001). Apabila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh subak di Bali, maka subak akan semakin dapat mengelola dirinya sendiri menjadi organisasi mandiri.
b.      Kelembagaan sistem subak
Petani sedikit demi sedikit membuka lahan tegalan menjadi lahan sawah yang kemudian berkembang menadi salah satu tempek. Tempek adalah sub subak atau merupakan suatu komplek persawahan yang mendapat air irigasi dari satu sumber /bangunan bagi (tembuku) tertentu dalam suatu areal subak. Petani dalam satu tempek tidak memiliki pura Bedugul, mereka memiliki otonomi ke dala tetapi tidak memiliki otonimi keluar. Apabila tempek-tempek tersebut telah semakin luas arealnya dan semakin sulit dikoordinasi dalam wadah tempek, maka tempek tersebut dapat berkembang menjadi subak, dan subak-subak yang mendapat air irigasi dari satu sumber akan berkembang menjadi subak gede, selanjutnya subak gede dapat berkembang  enjadi suatu lembaga yang lebih besar yakni subak agung (Sutawan dkk, 1991).
Dalam perkembangannya hingga saat ini, di Bali telah terbentuk dua buah subak agung yakni subak agung  Yeh Ho di kabupaten Tabanan (mengkoordinasi sistem irigasi yang ada didsepanjang sungai Yeh Ho) dan subak agung Gangga Luhur yang ada di kabupaten Buleleng (mengkoordinasi sistem irigasi yang ada di saluran induk sungai Buleleng, sungai Nangka dan sungai Banyumala). Pengembangan subak gede menjadi subak agung merupakan tindakan untuk mempertahankan keberadaan sistem subak di Bali.


c.       Kewenangan pengelolaan palemahan sistem subak
Pada tahun 1925 Belanda melakukan intervensi pada sistem subak dio Bali dengan membangun bendung permanen yakni bendung Oongan di sungai Ayung-Denpasar (Sumarta, 1992). Intervensi itu tidak menimbulkan masalah karena pihak Belanda tidak mencampuri sistem subak di tingkat jaringan tersier. Namun proyek-proyek jaringan tersier yang dilakukan Dep. PU sejak akhir tahun 1970-an pada sistem subak di Bali dengan merubah sistem bangunan bagi (tembuku) dari sistem numbak menjadi ngerirun telah menimbulkan konflik karena perubahan itu tidak serasi dengan sosio kultural masyarakat setempat. Namun demikian, sistem subak sebagai lembaga adat yang otonum tetap dapat mengatur dirinya sendiri tanpa menimbulkan konflik karena tetap diusahakan adanya harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Harmoni itu terjadi karena adanya koordinasi antara suatu subak dengan lembaga lain dilingkungannya.    
d.      Stakeholders sistem subak
Ketika cakupan pengelolaan sistem subak hanya berupa air irigasi maka stakeholders sistem subak hanya para pengurus, anggota, dan pemuka agama. Namun dengan adanya perkembangan subak sampai saat ini, maka stakeholders sistem subak menjadi berubah yakni mencakup para pengembala itik, pengurus koperasi tani dan pemerintah.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus